Tahukah Kamu, Rafting Dulunya Bukan untuk Wisata Tapi Angkut Barang di Sungai
Saat Anda berteriak kegirangan di
atas perahu karet yang meliuk-liuk di antara jeram, pernahkah terbayang bahwa
aktivitas ini dulunya bukanlah sebuah rekreasi? Jauh sebelum menjadi olahraga
petualangan modern, rafting atau arung jeram lahir pada abad ke-19 sebagai
metode transportasi fungsional untuk mengangkut barang di sungai-sungai liar
Amerika. Inilah kisah evolusi luar biasa dari sebuah rakit kayu sederhana
menjadi industri pariwisata global yang kini digandrungi di seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Bagi generasi milenial dan Gen Z,
rafting adalah sinonim dari liburan seru, team building, dan konten
media sosial yang memacu adrenalin. Namun, di balik citra modern tersebut,
tersimpan DNA kerja keras dan perjuangan untuk bertahan hidup. Konteks lahirnya
aktivitas ini bukanlah pencarian hiburan, melainkan pemecahan masalah
fundamental: bagaimana cara menaklukkan sungai yang deras ketika belum ada
jalan raya atau jembatan.
Sungai adalah jalan raya pertama
peradaban, namun arusnya yang liar adalah tantangan besar. Kebutuhan untuk
mengangkut hasil hutan, tambang, dan logistik lainnya di daerah terpencil
menjadi alasan (Why) utama manusia pertama kali memberanikan diri
mengarungi jeram.
Akar
Fungsional: Rakit Kayu di Sungai Liar
Jauh sebelum ada perahu karet, helm,
dan pelampung, arung jeram dilakukan dengan teknologi paling dasar: rakit yang
terbuat dari balok-balok kayu yang diikat menjadi satu. Aktivitas ini sangat
berisiko dan murni untuk tujuan ekonomi.
Ekspedisi Legendaris John Wesley Powell
Salah satu momen paling ikonik dalam
sejarah pengarungan sungai terjadi pada tahun 1869. Seorang geolog dan
penjelajah bernama John Wesley Powell memimpin ekspedisi pertama menyusuri
Sungai Colorado dan Grand Canyon di Amerika Serikat. Menggunakan perahu kayu
sederhana, ekspedisinya yang bertujuan untuk pemetaan ilmiah ini secara tidak
sengaja menjadi cikal bakal dari petualangan arung jeram modern, membuktikan
bahwa sungai paling liar sekalipun bisa diarungi.
Titik
Balik: Dari Kebutuhan Perang ke Rekreasi
Transformasi besar terjadi pada
pertengahan abad ke-20. Teknologi yang dikembangkan untuk perang justru membuka
pintu bagi era baru rekreasi di sungai.
Lahirnya Perahu Karet Modern
Seperti halnya Jeep di dunia offroad
darat, perahu karet adalah warisan dari Perang Dunia II. Militer membutuhkan
perahu pendarat yang ringan, kuat, dan bisa dikempiskan. Setelah perang usai,
perahu-perahu karet surplus ini mulai dimanfaatkan oleh para petualang untuk
mengarungi sungai. Perahu karet terbukti jauh lebih aman, stabil, dan lincah
dibandingkan rakit kayu, sehingga mengubah wajah arung jeram selamanya.
Era 1970-an: Olahraga Dilahirkan
Berkat inovasi perahu karet, arung
jeram mulai diakses oleh masyarakat luas. Pada era 1970-an,
perusahaan-perusahaan wisata arung jeram komersial pertama mulai bermunculan di
Amerika. Aktivitas ini secara resmi beralih dari domain para penjelajah ekstrem
menjadi sebuah olahraga dan rekreasi yang bisa dinikmati banyak orang, lengkap
dengan standar keselamatan dan pemandu profesional.
Arus
Petualangan Tiba di Indonesia
Semangat petualangan ini akhirnya
tiba di kepulauan Indonesia, yang diberkahi dengan ribuan sungai berarus deras
yang potensial.
Dipicu oleh Semangat Pecinta Alam
Pada era 1980-an hingga 1990-an,
para pegiat alam dari organisasi seperti Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) dan
Wanadri menjadi perintis arung jeram di Indonesia. Merekalah yang dengan
peralatan terbatas mulai memetakan dan "membuka" jalur-jalur sungai
yang kini menjadi destinasi populer.
Sungai Lokal, Panggung Petualangan
Dari hasil eksplorasi mereka,
lahirlah destinasi-destinasi ikonik. Sungai Citarik di Jawa Barat menjadi salah
satu pusat arung jeram pertama. Di Bali, Sungai Ayung menawarkan keindahan
alam. Sementara di Jawa Timur, Sungai Pekalen di Probolinggo (dekat dari
Malang) menjadi favorit karena jeramnya yang menantang dan pemandangan guanya
yang unik.
Implikasi Bagi Petualang Modern
Memahami sejarah panjang ini
memberikan makna lebih dalam pada setiap dayungan yang kita lakukan hari ini.
Menghargai Inovasi dan Keselamatan
Setiap peralatan yang kita
gunakan—mulai dari perahu self-bailing (bisa mengeluarkan air sendiri),
dayung ringan, helm, hingga pelampung—adalah hasil dari evolusi dan
pembelajaran selama puluhan tahun, sering kali dari kecelakaan tragis di masa
lalu. Menghargai sejarah ini membuat kita lebih patuh dan menghormati prosedur
keselamatan.
Menyambung Warisan Para Penjelajah
Suryo "Gondrong" Baskoro,
salah satu perintis arung jeram di Jawa Timur, berbagi pandangannya.
"Setiap kali saya membawa
anak-anak muda ke sungai, saya selalu bilang: kita bukan yang pertama. Sebelum
kita, ada para penebang kayu, penambang, dan penjelajah yang mempertaruhkan
nyawa di sini. Kita melanjutkan semangat mereka, tapi dengan cara yang lebih
aman dan untuk bersenang-senang. Ada rasa hormat pada sungai dan
sejarahnya."
Bagi generasi sekarang, setiap
perjalanan arung jeram adalah cara untuk terhubung dengan jiwa penjelajah para
pendahulu kita, merasakan tantangan yang sama, namun dengan keamanan yang jauh
lebih baik.
Dari sebuah metode transportasi yang
berbahaya di abad ke-19 hingga menjadi industri pariwisata global yang
menyenangkan, perjalanan sejarah arung jeram adalah cerminan dari inovasi dan
hasrat manusia untuk berpetualang. Ia telah mengubah sungai dari sekadar jalur
fungsional menjadi sebuah taman bermain yang menantang. Jadi, saat berikutnya
Anda merasakan adrenalin saat perahu karet menuruni jeram, ingatlah bahwa Anda
adalah bagian dari sebuah warisan panjang para pemberani yang telah mengarungi
arus jauh sebelum kita.